Powered By Blogger

Jumat, 25 Desember 2009

HIJRAH

Kita telah berada didalam tahun baru 1431 Hijriyah, bulan Muharam adalah bulan pertama kalender islam, bulan yang telah menjadi tradisi masyarakat Islam berabad-abad dan bahkan pada abad millennium masih mengumandangkan Hari Kebangkitan Islam dengan ditandainya kebangkitan abad 15 hijriyah. Dunia islam telah diikat oleh sendi-sendi pergerakan secara militant diantaranya, bulan muaharam sebagai momentum tahun baru islam dalam mengembangkan isu strategis perjuangan islam.

Hijrah sendiri memiliki nilai yg strategis dalam sejarah perjuangan tegaknya islam dan terjadinya hijrah bukan kehendak manusia tetapi Allah perintahkan kepada Rasulullah SAW berhijrah demi keselamatan dan kejayaan islam. Ini bisa terlihat dari cikal bakal terbentuknya Madinah sebagai sebuah daulah sebagai wadah perjuangan yang dahulunya tertidas, kini Allah memberikan tempat terhadap islam dalam arti yang utuh/kaffah. Allah berfirman,” Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya pasti Kami akan berikan tempat yang bagus bagi mereka didunia, dan sesungguhnya pahala di ahirat adalah lebih besar kalau mereka mengetahui. Yaitu orang-orang sabar dan kepada Tuhan saja mereka bertawakal.” Al Anfal 41-42.

Perjalanan hijrah sebagaimana tarikh islam adalah perintah Allah kepada Rasul menuju madinah. Dimekkah, Rasulullah dan para pengikutnya sangat dibenci, bahkan disiksa oleh musyrikin quraisy akan tetapi dikala Beliau tiba dimadinah, masyrakat berbondong-bondong menjemput dan menyambutnya sebagai pemimpin. Masyarakat madinah sangat mengharapkan kehadirannya untuk menyatukan perbedaan pendapat dan persaingan negatif yang menghasilkan perepecahan.

Setelah tiba di madinah, langkah strategis pertama diambil adalah mengadakan rekonsiliasi antara kabilah-kabilah yang selama ini bertikai. Sebuah fakta sejarah tertuang dalam perjanjian Piagam Madinah atau lebih dikenal dengan Konstitusi Madinah telah menyatukan ketiga kelompok besar yang manaungi madinah yakni, kaum Muhajirin atau kaum quraisy sebagai orang-orang yang berhijrah, kaum Anshar adalah orang madinah sendiri serta kaum Ashabiyah atau kaum Nasyrani dan Yahudi pendduduk madinah. Dari perjanjian tersebut lahirlah 47 pasal sebagai konstitusi negara unutk melindungi warga dan juga telah terbentuk tiga Partai Politik sebagai penopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui bahwa para pakar politik dan sejarah telah mengakui bahwa Konstitusi pertama dalam negara-negara moderen adalah dari Madinah, bukan dari Perancis maupun Amerika Serikat yg selama ini dikenal.

Setelah piagam madinah diterapkan maka hidup masyarakat saling berdampingan, hilanglah fanatisme golongan sehingga terbentuklah nasionalisme, pada ahirnya aliansi teritorial dan tribal atau kesukuan runtuh dengan sendirinya. Ketiga Parpol yakni Partai Muhajirin, Partai Anshar dan Partai Ashabiyah telah mengahapus kebepihakan etnis dan menjelma menjadi sebuah kekuatan besar sekaligus kekuatan hidup (living force). Disinilah salah satu kecemerlangan Rasulullah sebagai pambawa kabar gembira.
Satu lagi yang menakjubkan dari keberhasilan Rasulullah sebagai diplomat ulung dan juga pemimpin bertaraf internasional adalah perjanjian Hudaibiyah. Kalau dilihat dari isi perjanjian hanya bersifat insendensial saja, yakni perjanjian yang bermakna antara orang-orang madinah dan orang-orang mekkah disebuah desa kecil yang bernama Hudaibiyah.

Akan tetapi kesepakatan hudaibiyah atau lebih dikenal dalam sejarah dengan sebutan Perjanjian Hudaibiyah memiliki makna yang sangat luas, walaupun perjanjian tersebut hanya berisikan kesepakatan tentang bagaimana orang-orang madinah selama berkunjung ke Baitullah dijamin ketenangannya serta bagaimana orang-orang mekkah menerima tamu-tamunya dalam etika berbangsa dan bernegara. Hasil dari kesepakatan sederhana ini sangat memiliki nilai-nilai politis dan inilah yang dikatakan Rasulullah sebagai diplomat ulung bertaraf internasional yang berkwalitas.
Dari ujung perjanjian bermakna furqan atau garis pemisah antara madinah dan mekkah dengan komunitasnya masing-masing sebagaimana kita simak dialog antara utusan dari dua komunitas tersebut dipmpin oleh diplomat kawakan Suhail sebagai wakil dari kaum Quraisy. Dialog ini dikutip dari riwayat Bukhari – Muslim.

Rasulullah berkata kepada Syaidina Ali,” Tuliskan Bismillahirrahmanirrahim.”
Lalu Suhail ibnu Amr berkata,” Kami tidak mengerti apa itu Bismillahirrahmanirrahim. Tuliskan apa yang kami ketahui, Bismikallahumma.” Rasulullah setuju usulan Suhail, setelah teks perjanjian disetujui lalu Rasulullah bersabda,” Tuliskan dari Muhammad Rasulullah.” Suhail menolak lagi usulan kalimat yang disodorkan Rasulullah sambil berkata,” Kalau kami tahu engkau adalah Rasulullah tentu kami ikut engkau. Tuliskan saja namamu dan nama bapakmu, lalu Rasulullah bersabda,” Tukliskan dari Rasulullah bin Abdullah.”

Seperti dikatakan diatas tadi bahwa kalau perjanjian tersebut hanyalah bersifat insidentil maka perjanjian tersebut tidak bermakna dalam sejarah islam, akan tetapi di tinjau dari aspek politis, maka itu adalah sebuah perjanjian bilateral yang memisahkan madinah sebagai sebuah negara Islam dan mekkah bagian dari negara Musyrikin, jelas sekali garis furqan atau pemisah antara kaum mu’minin dan musyrikin. Diujung perjanjian telah tertera nama Muhammad bin Abdullah sebagai pemimpin madinah yang bebas dari tekanan dan pengaruh kekuasaan manapun dengan diperkuat lagi dituangkan piagam madinah dalam perjanjian tadi.

Perjanjian inipun telah berulang kembali di abad moderen atau abad 21 antara Sang pemimpin revolusi Islam Iran, Ayatullah Rahullah Khomeini dengan Gorbachev pemimpin Uni Soviet. Dikala mengambil alih kepemimpinan dari Syah Reza dunia belum mengakuinya sehingga Ayatullah bersurat kepada Gorbachev,” Kapada Yang Mulia Tuan Gorbachev Pemimpin Uni Soviet.” Isi surat yang sederhana hanya menyampaikan kepada Gorbachev bahwa negaranya akan membantu Uni Soviet memperbaiki perekonomiannya tetapi dengan tegas pemimpin Soviet itu menolak dengan sepucuk surat balasan,” Kapada Yang Mulia Pemimpin Ravolusi Iran Ayatullah Rohullah Khomeini.” Surat tersesbut hanyalah bersifat insendensial akan tetap memiliki nilai plolitis maka bermakna luas yaitu pengakuan internasional.

Surat bernada penolakan tersebut yang sangat dinantikan oleh Ayatullah sebagai pengakuan politik internasional bahwa di iran telah berdiri sebuah negara berdaulat. Dengan pengakuan Gorbachev maka penolakan negara manapun terhadap eksistensi iran sebagai Negara Islam sudah tidak berlaku lagi. Diplomasi internasional seperti ini adalah bagian dari gaya diplomasi yang dibangun pada masa Rasulullah yakni perjanjian Hudaibiyah. Inilah tingkat diplomasi yang telah membawa kemenangan besar sejak masa kepemimpinannya samapi terbentuk sebuah peradaban Islam yang berdiri tegak selama 13 abad dan telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap peradaban dunia. Dalam surah Al-Fath ayat 1 Allah berfirman,” Sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan kepada engkau dengan kemenangan yang terang.”

Tahun Baru Hijriyah tidak akan bermakna jika kita tidak menelusuri kembali jejak-jejak sejarah yang mengagumkan dengan langkah-langkah politik serta tingkat diplomasi yang dilakukan oleh Rasulullah sebagai politikus dan sekaligus diplomat ulung dan dengan inilah kita sebagai pengikut Rasulullah harus bangga terhadap pribadinya bukan sebagai imam masjid saja tetapi dia adalah seroang pemimpin Negara berwawasan politik internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar