Sekarang, mari kita kembali menganalisa sikap dan pendapat para pemimpin berbagai gerakan Islami dan pemikir Islam berkaitan dengan fitnah yang haram ini dan hiruk pikuk buatan yang sangat disesalkan ini.
Imam Syahid Hasan al-Banna, adalah pembawa panji gerakan Islam terbesar era modern dan salah satu tokoh ide kedekatan antara Syiah dan Sunni. Beliau juga merupakan salah satu pendiri dan tokoh berpengaruh dalam aktivitas “Jamaah Taqrib Baina Al-Mazhahib Al-Islamiyah” di Kairo, padahal sebagian kalangan menyebut pendekatan mazhab mustahil tercapai. Tetapi al-Banna dan sekelompok pembesar dan ulama Islam menganggapnya mungkin dan bisa terjadi. Mereka sepakat agar semua muslimin (Sunni dan Syiah) berkumpul bersama dalam keyakinan-keyakinan dan prinsip yang disepakati dan dalam hal-hal yang bukan merupakan syarat iman dan bukan bagian dari tiang-tiang agama dan secara lazim tidak mengingkari pembahasan agama yang jelas, kaum muslimin harus menghargai keyakinan masing-masing.
DR. Abdulkarim Biazar Shirazi dalam buku Wahdat Islami yang terdiri atas makalah para ulama Syiah dan Sunni yang telah dicetak dalam majalah Risalatul Islam dan telah dicetak oleh Darut Taqrib Mesir, tentang Jamaah Taqrib berkata:
“Mereka sepakat mengumumkan bahwa: Seorang muslim adalah orang yang mengimani dan meyakini Allah Tuhan alam semesta, Muhammad saw nabi yang tidak ada lagi nabi setelahnya, Al-Qur’an kitab samawi, Ka’bah kiblat dan rumah Allah, lima rukun yang diakui, hari kiamat serta melaksanakan hal-hal yang dianggap penting. Rukun-rukun ini -yang disebutkan sebagai contoh- telah disepakati oleh para peserta pertemuan, utusan-utusan mazhab yang empat dan utusan-utusan Syiah dari mazhab Imamiah dan Zaidiyah.”[2]
Pertemuan tersebut dihadiri oleh Syaikh al-Azhar yang juga Otoritas Fatwa Tertinggi saat itu, Imam Besar Abdulmajid Salim, Imam Mustafa Abdurrazzaq dan Syaikh Shaltut.
Penulis memang tidak menemukan info sempurna tantang peranan khusus Imam Syahid Al-Banna dalam hal ini, tetapi salah satu pemikir Ikhwanul Muslimin Ustad Salim Bahansawi dalam bukunya berkata:
“Sejak Jamaah Taqrib antara mazhab-mazhab Islam didirikan dan Imam Hasan al-Banna dan Ayatullah Qumi berperan dalam pendiriannya, kerja sama antara Ikhwanul Muslimin dan Syiah tercipta, yang pada kelajutannya terjadi kunjungan Syahid Nawwab Safavi ke Mesir pada tahun 1954.[3] Dalam kitab itu, dia melanjutkan: “Tidak heran jika garis kebijakan dan metode kedua kelompok berakhir dengan kerja sama ini.”
Demikian pula, sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam ritual haji tahun 1948 Masehi, Imam al-Banna bertemu dengan Ayatullah Kasاani, ulama besar Syiah, dan di antara keduanya tercapai beberapa kesepakatan.
Salah satu tokoh kontemporer dan berpengaruh Ikhwanul Muslimin dan salah satu murid Imam Syahid adalah Ustad Abdul Muta’al Jabri yang menurut kutipan Roober Jakcson, menulis dalam bukunya:
“Jika usia pria ini -Hasan al-Banna- panjang mungkin saja mayoritas muslimin, hal-hal penting bagi kedua negara ini akan terwujud, khususnya jika Hasan Al-Banna dan Ayatullah Kashani, tokoh Iran, sepakat dalam penghapusan masalah pertentangan (ikhtilaf) antara Syiah dan Sunni. Keduanya bertemu pada ritual haji tahun 1948 Masehi dan kelihatannya telah menyepakati beberapa poin penting, tetapi Hasan Al-Banna telah diteror tidak pada waktunya.”[4]
Ustad Jabri menjelaskan: “Ucapan Weber benar, dengan insting politiknya dapat dirasakan usaha Imam dalam pendekatan mazhab-mazhab Islam. Jadi jika dia sadar dengan peranan besar Imam al-Banna dalam hal ini (yang waktu ini bukan saatnya membahas tentang bagaimana pernanan itu), apa yang akan dikatakannya?”
Dari beberapa hal ini, kita bisa menarik beberapa hakikat penting, antara lain:
- Setiap Syiah dan Sunni memandang satu sama lainnya sebagai muslim.
- Pertemuan dan kesepakatan kedua ulama ini dan menyingkirkan pertentangan adalah hal penting dan tidak bisa diingkari dan tanggung jawab ini berada di pundak gerakan islami yang sadar dan berpegang teguh pada perjanjian.
- Imam Syahid Hasan al-Banna juga telah berusaha sekuat mungkin dalam masalah ini.
DR. Ishaq Musawi Husaini, dalam kitab al-Ikhwanul Muslimin…Kubra Al-Hakarat Al-Islamiyah Al-Haditsah[5] menulis: Sebagian mahasiswa (Syiah) yang sedang belajar di Mesir telah bergabung dengan Ikhwan. Ketika Nawwab Safavi mengunjungi Suriah dan bertemu dengan Mustafa Subai, Sekjen Ikhwanul Muslimin di sana, Subai kepada Nawwab mengadukan kekecewaannya terhadap sikap sebagian pemuda Syiah yang bergabung dengan gerakan sekuler dan nasionalis. Nawwab Safavi naik ke atas mimbar dan di depan kelompok Syiah dan Sunni berkata: “Siapa saja yang ingin menjadi Syiah hakiki Ja’fari harus bergabung dengan barisan Ikhwanul Muslimin”. Tapi, siapakah Nawwab Safawi? Dia adalah pimpinan organisasi “Martir-Martir Islam” yang Syiah.
Ustad Muhammad Ali Dhanawi, mengutip dari Bernard Louis: “Selain mengikuti mazhab Syiah, mereka juga memiliki ide tentang persatuan Islam dan memiliki banyak kesamaan dengan Ikhwan Mesir dan mereka saling berhubungan.”[6] Ketika menganalisa prinsip dasar organisasi Martir-Martir Islam, Ustad Dhanawi menemukan bahwa:
“Pertama: Islam adalah sebuah sistem integral bagi kehidupan. Kedua: Kecenderungan terpecah belah dalam berbagai firqah di kalangan muslimin yaitu Sunni dan Syiah adalah kecenderungan yang tertolak.” Kemudian, dia mengutip ucapan Nawwab: “Mari kita upayakan persatuan Islam dan kita lupakan segala sesuatu yang bukan bagian dari jihad kita demi kemuliaan Islam. Apakah belum tiba saatnya kaum muslimin memahami hakikat dan meninggalkan pertentangan antara Syiah dan Sunni?”
Ustad Fathi Yakan menjelaskan peristiwa kunjungan Nawwab Safawi ke Mesir dan semangat serta sambutan Ikhwanul Muslimin ketika menyambutnya. Kemudian, berkaitan dengan hukuman mati dari Syah untuk Nawwab, dia berkata:
“Hukuman zalim ini diprotes dengan sangat keras di negara-negara Islam. Kaum muslimin dari seluruh dunia yang menghargai keberanian dan jihad Nawwab Safavi sangat terguncang dan menentang hukum tersebut serta mengutuk hukuman mati yang dijatuhkan atas mujahid mukmin itu lewat telegram. Hukuman mati Nawwab Safavi merupakan peristiwa tragis dalam era kontemporer.”[7]
Demikianlah, bukan hanya seorang muslim Syiah yang dalam pandangan Ustad Fathi Yakan dianggap sebagai salah satu syuhada Ikhwan, tetapi dia yakin bahwa Nawwab dan para pendukungnya telah bergabung bersama rombongan syuhada dengan kesyahidan mereka. Syahid-syahid kekal yang darahnya akan menjadi pelita yang akan menerangi jalan kebebasan dan pengorbanan para generasi muda. Dan memang demikian adanya, dan tidak lama setelah itu terjadi Revolusi Islam yang menghantam kekuasaan Syah yang despotik. Syah terkatung-katung dan terusir. Dan terwujudlah firman Allah swt:
وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِينَ، إِنَّهُمْ لَهُمُ الْمَنصُورُونَ، وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ [8]
Demikianlah, janji Kami tentang hamba-hamba yang Kami utus. Sesungguhnya mereka akan tertolong dan pasukan Kami pasti akan menang.
Setelah pengumuman tentang pengakuan eksistensi rezim zionis Israel oleh Iran di zaman rezim, Ustad Fathi Yakan berkata:
“Bangsa Arab semestinya mencari Nawwab dan para pendukungnya di Iran. Tetapi negara-negara Arab tidak juga memahaminya sampai saat ini dan tidak mengetahui bahwa gerakan islamiyah adalah satu-satunya penolong dalam masalah-masalah muslimin di luar Arab. Apakah Nawwab lain akan muncul di Iran?”[9]
Oleh karena itu, Ustad Yakan sedang menanti Nawwab lain. Jadi -sumpah demi Allah- mengapa ketika Nawwab dan orang yang lebih besar dari Nawwab datang, sebagian marah dan sebagian lagi malah menjadi demam?!
Majalah al-Muslimun yang diterbitkan Ikhwanul Muslimin, dalam salah satu edisinya berjudul “Bersama Nawwab Safavi” menulis: “Syahid yang mulia, Nawwab Safavi, memiliki hubungan erat dengan al-Muslimun dan pada bulan Januari 1954 Masehi tinggal kantor majalah di Mesir sebagai tamu.”[10]
Kemudian, berkaitan dengan pendapat Nawwab tentang para tahanan dari kelompok Ikhwan, majalah ini menulis:
“Ketika pembesar-pembesar Islam di mana saja menjadi sasaran para taghut, kaum muslimin harus menutup mata dari perselisihan antara mazhab dan harus bersama-sama merasakan penderitaan dan kesedihan saudara-saudaranya yang dizalimi ini. Tidak bisa diragukan lagi bahwa dengan perjuangan Islam, kita bisa menggagalkan usaha musuh untuk menciptakan perpecahan di antara kaum muslimin. Keberadaan berbagai mazhab dalam Islam bukanlah bahaya dan kita juga tidak bisa menghapuskan mazhab-mazhab itu. Apa yang harus kita cegah adalah penyalahgunaan kondisi ini oleh kalangan tertentu.”[11]
Di akhir makalah, majalah ini mengutip ucapan Nawwab Safavi:
“Kami yakin bahwa kami pasti akan terbunuh. Jika tidak hari ini, mungkin besok. Tetapi darah dan pengorbanan kami akan menghidupkan Islam dan akan membangkitkan Islam. Islam hari ini membutuhkan darah dan pengorbanan, tanpa keduanya, Islam tidak akan pernah bangkit lagi.
Sebelum kita akhiri pembahasan tentang hubungan Ikhwanul Muslimin dengan Syiah, kami harus menyebutkan bahwa Ustad Abdul Majid al-Zandani, Sekjen Ikhwanul Muslimin -sampai dua tahun lalu- yang berada dalam tahanan di Utara Yaman adalah Syiah[12] dan sebagian besar anggota Ikhwan di Utara Yaman adalah Syiah.
Sekarang, kita kembali ke masalah Jamaah Taqrib agar kita bisa mendengar ucapan anggota penting Jamaah, pemimpin besar, Mahmud Syaltut, Syaikh Al-Azhar. Dia berkata:
“Saya meyakini ide taqrib ini sebagai sebuah garis kebijakan yang benar dan sejak awal saya ikut berperan dalam Jamaah.”[13]
Kemudian beliau berkata:
“Al-Azhar Al-Syarif saat ini mengakui hukum dasar (dasar taqrib di antara pemeluk berbagai mazhab) dan akan menganalisa fikih mazhab-mazhab Islami dari Sunni sampai Syiah; analisa yang berlandaskan dalil dan argumentasi serta tanpa mengedepankan fanatisme kepada ini dan itu.”[14]
Selanjutnya beliau berkata:
“Andai saya bisa berbicara pada pertemuan-pertemuan Daruttaqrib. Saat itu, ketika seorang warga Mesir duduk berdampingan dengan seorang warga Iran atau Libanon atau Pakistan atau utusan negara-negara lainnya, dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali duduk mengitari meja di sisi pemeluk mazhab Imamiah dan Zaidiyah, dan terdengarlah suara-suara yang mengungkapkan keilmuan, tasawwuf dan fikih serta ruh persaudaraan, rasa persatuan, cinta dan kerjasama di dalam bidang ilmu dan irfan.”[15]
Syaikh Syaltut mengisyaratkan bahwa sebagian kalangan yang menyangka bahwa tujuan dari ide taqrib adalah menghapuskan mazhab atau menggabungkan satu mazhab dengan mazhab lainnya, beliau berkata:
“Orang-orang yang berpikiran sempitlah yang memerangi ide ini, sebagaimana kelompok lain yang memeranginya karena kepentingan. Tidak ada satu ummatpun yang tidak memiliki orang-orang seperti ini. Mereka yang melihat keberlangsungan dan kehidupannya ada di dalam perpecahan akan memerangi ide taqrib dan orang-orang berhati busuk, pemuja hawa nafsu dan mereka yang memiliki kecenderungan tertentu juga akan memeranginya. Mereka ini adalah orang-orang yang menjual penanya demi politik perpecahan! Politik yang memerangi setiap gerakan perbaikan baik secara langsung atau tidak langsung dan menghalangi setiap perbuatan yang dapat menimbulkan persatuan kaum muslimin.”
Sebelum saya menutup pembicaraan tentang al-Azhar, mari kita dengarkan fatwa yang dikeluarkan Syaikh Syaltut tentang mazhab Syiah. Dalam fatwa itu disebutkan:
“Mazhab Ja’fari yang terkenal dengan mazhab Syiah 12 Imam, adalah mazhab yang sama seperti mazhab Ahli Sunnah, beribadah dengan mazhab tersebut dibolehkan dalam syariat. Kaum muslimin harus mengetahui hal ini dan terbebas dari fanatisme yang salah berkaitan dengan mazhab tertentu, sebab agama dan syariat Allah tidak tergantung pada satu mazhab khusus atau terbatas pada satu mazhab saja. Karena semua telah berjtihad dan karena itu mereka diterima di sisi Allah.”[16]
Mari kita tinggalkan Jamaah Taqrib dan kita akan sampai pada pemikir-pemikir Islam yang tak terhingga, kita mulai dari Syaikh Muhamamd Ghazali, beliau berkata:
“Keyakinan (akidah) juga tidak bisa aman dari gigitan kerusushan sebagaimana yang dialami oleh politik dan pemerintahan, sebab syahwat-syahwat yang menginginkan keutamaan dan dominasi dengan paksaan telah memasukkan hal-hal lain dalam keyakinan, dan sejak saat itulah kaum muslimin terbagi menjadi dua bagian besar Syiah dan Sunni. Padahal kedua kelompok ini mengimani Allah yang esa dan kenabian Muhammad saw dan masing-masing tidak mempunyai kelebihan apapun dalam unsur-unsur akidah yang menyebabkan kekokohan agama dan menimbulkan kebebasan.[17]
Dalam lembar yang sama dalam bukunya, dia menambahkan:
“Meskipun dalam beberapa bagian hukum-hukum fikih saya memiliki pendapat yang bertentangan dengan Syiah, tetapi saya tidak yakin bahwa orang yang bertentangan pendapat dengan saya adalah orang berdosa. Posisi saya di hadapan sebagian pendapat fikih yang banyak diamalkan di kalangan Ahli Sunnah juga demikian.
Di bagian lain bukunya, dia berkata:
“Akhirnya, perpecahan antara Syiah dan Sunni mereka hubung-hubungkan dengan ushul akidah agar agama yang satu kembali terkoyak dan ummat yang satu bercabang menjadi dua bagian dan satu bagian mengintai bagian lainnya bahkan menantikan kematian bagian lainnya! Barang siapa yang membantu pengelompokan ini walau dengan dengan satu kata, maka dia akan masuk dalam ayat ini:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ[18]
Mereka yang memecah belah agama dan menjadi berkelompok-kelompok di dalamnya mereka itu bukan bagian darimu. Allah yang akan mengurus mereka dan akan menyadarkan mereka lewat siksaan dari apa yang mereka telah lakukan.
Ketahuilah bahwa mengkafirkan orang lain terlebih dahulu saat berdialog adalah mudah dan membuktikan kekafairan lawan bisa dilakukan di tengah hangatnya pembahasan lewat ucapan lawan sendiri.[19]
Kemudian, Syaikh Muhammad Ghazali kembali berkata:
“Dalam kedua kelompok, hubungan keduanya dengan Islam berdasarkan iman kepada kitabullah dan sunnah nabi dan secara mutlak sama-sama menyepakati ushul-ushul mayoritas agama. Jadi dalam furu dan syariat mereka menjadi bercabang-cabang. Mereka sepakat bahwa mujtahid akan mendapat pahala baik jika ijtihadnya benar atau salah. Ketika kita memasuki fikih praktis dan perbandingan, dan jika kita analisa antara pendapat ini dan itu, atau menilai mana hadis shahih dan dhaif, maka kita akan melihat bahwa jarak antara Syiah dan Sunni sama seperti jarak antara fikih mazhab Abu Hanifah, Maliki atau Syafii. Kita harus melihat sama semua orang yang mencari hakikat meski cara dan metode mereka berbeda-beda.”[20]
Dalam kitab Nazarat fil Qur’an, kita dapat melihat Syaikh Ghazali membawa salah satu ucapan ulama Syiah dan salah satu catatan pinggir kitab itu, Ghazali berkata:
“Dia adalah salah satu faqih dan sastrawan besar Syiah. Kita akan membahas semua ucapannya, sebab sebagian orang-orang yang belum matang pikirannya menyangka bahwa Syiah bukanlah Islam dan telah melenceng dari Islam. Dalam bab I’jaz akan disebutkan materi yang akan membuat kita lebih mengenal Syiah.”[21]
Dalam catatan pinggir dari salah satu halaman bukunya, ketika memperkenalkan seorang ulama lainnya (Hibbaddin Husaini Syahrestani), Ghazali berkata:
“Dia adalah salah satu ualam besar Syiah dan kami sengaja membawa ringkasan ucapannya di sini agar pembaca muslim mengetahui dengan jelas ketinggian ilmu ulama ini tentang esensi I’jaz dan tingkat kesucian kitabullah di kalangan kaum Syiah.”[22]
Oleh karena itu, Syaikh Ghazali yang merupakan salah satu pemikir Ikhwanul Muslimin terpenting berbicara demikian tentang Syiah dan menyingkirkan seluruh dugaan sederhana sehingga nilai hakikat mampu menepis kegelapan karena kejahilan, dendam dan kebutuhan orang-orang yang berpikiran sempit.
DR. Subhi Shaleh—salah satu ulama terkenal Libanon—berkata: “Dalam hadis-hadis para Imam Syiah yang diriwayatkan tak lain adalah hadis-hadis yang sesuai sunnah Nabi.”[23] Kemudian dia menambah: “Sumber kedua syariat setelah kitabullah adalah sunnah Nabi yang memiliki kedudukan sangat tinggi di sisi mereka.”
Ustad Said Hawi—salah satu mantan pemimpin Ikhwanul Muslimin Suriah—ketika berbicara tentang bagian-bagian manajemen Darul Islam ketika diperluas dari bentuk federal berkata:
“Secara ilmiah, kondisi dunia Islam saat ini adalah bahwa Islam tersusun atas mazhab-mazhab fikih atau mazhab-mazhab akidah. Dan setiap mazhab berkuasa di daerah-daerah tertentu. Apakah ada uzur syar’i yang membuat hal ini menghalangi jalan untuk memperhatikan hal ini dalam pembagian manajemen? Jadi sebuah daerah yang memiliki satu bahasa harus memiliki satu kawasan pemerintahan. Setiap kawasan memilih sendiri pemimpinnya dan dalam saat yang sama kawasan ini masih berada di bawah pengawasan pemerintahan pusat.”[24]
Pengakuan jelas ini berasal dari salah satu pembesar Ikhwanul Muslimin saat ini tentang beragamnya mazhab misalnya Syiah yang tidak merusak Islam, masyarakat dan agama dan jika Syiah mendirikan Darul Islam, maka harus ada kawasan pemerintahan independen dan pemimpinnya.
DR. Mustafa Syaka’ah, salah satu peneliti muslim berkata:
“Mazhab Syiah Imamiah adalah syiah yang terkenal dan sedang hidup di tengah-tengah kita bahkan kita memiliki hubungan kasih sayang dengan mereka. Mereka juga berusaha mewujudkan pendekatan berbagai mazhab sebab intisari agama dan itu adalah satu dan asas agama yang kokoh. Dan agama tidak mengizinkan para pemeluknya menjauh satu sama lain.”[25]
Kemudian, tentang kelompok yang merupakan mayoritas penduduk Iran ini dan tentang keadilan mereka, berkata:
“Mereka lepas tangan dari ucapan-ucapan yang terucap dari berbagai firqah dan menganggapnya kufur dan sesat.”[26]
Syaikh mulia Imam Muhammad Abu Zuhrah dalam kitab Tarikh al-Mazhahibul Islamiyyah berkata: “Tidak bisa disangkal lagi bahwa Syiah adalah salah satu firqah Islam. Tentu saja kita harus memisahkan firqah Sabaiah yang yang mengakui Ali sebagai Tuhan dari Syiah (dan sudah jelas bahwa Sabaiyah adalah kafir di mata Syiah).[27] Dan tidak bisa diragukan lagi bahwa seluruh akidah Syiah berdasarkan nash al-Qur’an atau hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Nabi.” Dia juga berkata:”Mereka menyayangi tetangganya yang sunni dan tidak menjauhi mereka.”[28]
DR. Abdulkarim Zaidan, salah satu pemimpin penting Ikhwanul Muslimin Irak menulis:
“Mazhab Ja’fari ada di Iran, Irak, India, Pakistan, Libanon dan Suriah atau negara-negara lainnya. Antara fikih Ja’fari dan mazhab lainnya tidak lebih dari perbedaan antar mazhab dengan mazhab lainnya.”[29]
Ustad Salim Bahansawi yang merupakan salah satu pemikir Ikhwan, dalam kitabnya yang penting السنة المفترى عليها membahas masalah ini dengan terperinci, dan ketika menjawab klaim orang-orang yang mengatakan bahwa Syiah memiliki Qur’an lain selain Qur’an kita, berkata:”Qur’an yang ada di kalangan Ahli Sunnah adalah Qur’an yang ada di masjid dan di rumah-rumah orang Syiah.”[30] Dia juga berkata: “Syiah Ja’fari (12 Imam) meyakini bahwa barang siapa yang mentahrif Quran yang turun kepada mereka dari awal Islam adalah kafir.[31]
Dia melanjutkan jawabannya kepada Muhibuddin Khatib dan Ihsan Ilahi Zahir tentang tahrif Qur’an dan membawakan risalah di halaman 68-75 dalam kitabnya yang mengandung pendapat mayoritas ulama dan mujtahid Syiah berkaitan klaim ini. Dan dia membawa ucapan Ayatullah Khui:”Apa yang sudah diketahui adalah bahwa tidak terjadi tahrif dalam Qur’an dan apa yang kita miliki, adalah Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad saw.”[32]
Dan dia menukil ucapan Syaikh Muhammad Ridha Muzaffar—ulama terkenal Syiah asal Irak: “Apa yang ada di tangan kita dan yang kita baca adalah Qur’an yang turun kepada Nabi. Dan barang siapa yang mengklaim hal selain ini adalah pembohong dan pembuat mughalathah. Ucapan mereka tentang tahrif Qur’an ini keluar telah dari jalan yang benar.
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
Kemudian, dia juga menukil dari Kasyiful Ghita: “Semua meyakini dan berijma bahwa tidak ada kekurangan, tambahan dan tahrif dalam al-Qur’an.”
Tentu saja pendapat-pendapat lain masih banyak dalam halaman buku yang disebutkan di atas, jika berminat silahkan merujuk buku tersebut.
Berkaitan dengan sebagian riwayat tidak benar yang mungkin saja digunakan sebagian kalangan sebagai dalil, harus dikatakan bahwa hadis-hadis ini adalah tertolak. Hadis-hadis demikian juga ada di kalangan Ahli Sunnah dan mereka juga menolak hadis-hadis tersebut.”[33]
Tentang ishmat, Ustad Bahansawi berkata:
“Ishmat yang diingkari Ahli Sunnah tidak akan berakhir dengan pengkafiran satu sama lainnya jika kedua mazhab memahaminya sebagaimana yang dimaksud oleh mazhab 12 Imam. Sebab makna ishmat yang diakui oleh Syiah 12 Imam tidak termasuk sebagai hal-hal yang keluar dari agama dalam Ahli Sunnah. Pengingkaran ishmat adalah hal pandanagn dan pemikiran, sebab tidak ada dalam nash-nash yang yang diyakini oleh Ahli Sunnah. Dan sebagaimana sudah jelas, kekafiran hanya akan terjadi jika terjadi pengingkaran atas hal-hal yang pasti dalam Qur’an dan hadis dan si pengingkar juga mengetahui masalah ini. Jadi, jika si pengingkar tidak tahu atau meyakini ketidakshahihan riwayat maka dia tidak kafir meskipun kita tidak mengajukan dalil syar’i kepadanya.”[34]
“Sejarah Islam penuh dengan pertentangan dan perseteruan pikiran serta pertikaian politik antara Ahli Sunnah dan Syiah. Para agressor asing sejak Perang Salib sampai sekarang selalu berusaha memanfaatkan pertentangan ini dan memperdalam pengaruhnya agar persatuan dunia Islam tidak sempurna. Oleh karena itu, gerakan pro Barat dalam rangka memecah belah antara Ahli Sunnah dan Syiah menciptakan permusuhan di antara keduanya. Ahli Sunnah dan Syiah memahami bahwa ini adalah skenario, maka mereka pun berusaha mempersempit arena pertentangan